ABSTRAK
Abstrak
– Bantuan hukum dalam makna yang paling luas merupakan pemberian jasa
pendampingan hukum yang dilakukan secara cuma-cuma kepada masyarakat kurang
mampu. Tujuannya untuk menjamin kesetaraan perlakuan di depan hukum (equlity before the law). Melalui
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, pelaksanaan bantuan
hukum dilakukan oleh pemberi bantuan hukum yang memenuhi syarat dan berhak
melakukan rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas
hukum. Di sisi lain, pengaturan tentang pemberian bantuan hukum secara
cuma-cuma telah terlebih dahulu diatur melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2003 Tentang Advokat. Yang artinya dengan adanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2011, kegiatan yang dilakukan oleh profesi advokat juga mampu dilakukan oleh
paralegal, termasuk beracara dipengadilan (litigasi).
Tentu saja hal ini menimbulkan paradoks
pada sisi penanganan hukum, karena dalam realitasnya paralegal tidak diperbolehkan
melakukan penanganan hukum secara
litigasi. Oleh sebab itu, diperlukan sebuah solusi yang akan menimbulkan
persamaan pengertian antara pembela hukum dalam mewujudkan tujuan hukum itu
sendiri. Maksud dan tujuan penelitian ini ialah untuk membuka khazanah
pengetahuan tentang peran dan fungsi paralegal sebagai salah satu kerja hukum
yang memperjuangkan hak-hak hukum masyarakat
kurang mampu. Adapun tipe penelitian yang digunakan adalah Normatif dengan metode pengumpulan data Literature Research. Data dalam
penelitian ini berupa data sekunder yang diperoleh dari buku-buku,
jurnal-jurnal, peraturan p
erundang-undangan,
naskah akademik, dan situs-situs resmi.
Kata
kunci : Bantuan Hukum, equlity before the
law, Litigasi, Paradoks, Paralegal
PENDAHULUAN
Hukum
pada hakekatnya dibentuk untuk mengatur hidup manusia dan mempermudah hidup
manusia. Jadi memang selayaknya hukum tumbuh dan berkembang seiring dengan
perkembangan manusia. ubi societas ubi
ius, dimana ada manusia disitu ada hukum. Namun demikian hukum dalam arti
hukum positif yang dianut oleh sebagian besar negara, termasuk Indonesia,
nampaknya tidak lagi dapat memenuhi tuntutan perkembangan kehidupan manusia
yang lebih kompleks. Hukum positif dalam arti hukum (peraturan
perundang-undangan) yang berlaku saat ini dan dibuat secara prosedur formal
oleh organ negara sudah tidak mampu menjangkau fenomena di dunia nyata.[1]
Karena pemberian jasa bantuan hukum oleh si pemberi bantuan hukum dan pelayanan
hukum masih harus memikirkan faktor ekonomi sebagai penunjang kehidupan dan
juga untuk menutupi segala biaya negara selama proses pelayanan hukum
dilangsungkan.
Sejarah
pemberian bantuan hukum pada awalnya berawal dari sikap kedermawanan(charity)
elit-elit gereja terhadap pengikutnya. selain itu, hubungan pemberian bantuan
hukum ini juga terjadi antara pemuka adat dengan penduduk sekitar yang dikenal
dengan istilah patron-client(pemimpin-pengikut/pelayan).
Pada zaman romawi, pemberian bantuan hukum oleh para pemimpin pada dasarnya
memiliki motif untuk mendapatkan pengaruh pada masyarakat. [2]
Di
Indonesia sendiri, istilah bantuan hukum setelah masa kemerdekaan merupakan
hasil inisiasi dari organisasi advokat. Organisasi advokat pertama yang dimulai
pada tanggal 30 Agustus 1964 ini, ditandai dengan dibentuknya Persatuan Advokat
Indonesia (PERADIN). Selang beberapa tahun setelah pembentukannya, PERADIN
sebagai organisasi yang mewakili kepentingan advokat mengambil bagian dalam
program bantuan hukum yang ditandai dengan berdirinya Lembaga Bantuan
Hukum(LBH) Jakarta. Setelah itu, PERADIN mulai giat merintis terbentuknya LBH
di seluruh Indonesia.[3]
Semenjak
pembetukan LBH di seluruh Indonesia, konsep bantuan hukum menjadi terkenal
dimasyarakat. Lembaga Bantuan Hukum telah berkembang tidak saja dalam jumlah
perkara yang ditanganinya, tetapi juga dalam mengusahakan berbagai program aksi
yang sesuai dengan sifat dan ruang lingkup Lembaga Bantuan Hukum yang luas[4]
Di
era reformasi, pengaturan khusus(lex
specialis) tentang bantuan hukum diatur melalui undang-undang nomor 16 Tahun
2011 tentang bantuan hukum. Dalam undang-undang ini telah diatur mengenai syarat-syarat
pemberian bantuan hukum, termasuk kriteria sang pemberi bantuan hukum. Seperti
disebutkan dalam Pasal 9 ayat (a)
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Berbunyi :
“Pemberi
Bantuan Hukum berhak:
melakukan
rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum;
dalam
poin diatas bahwa hak badan pemberi bantuan hukum merupakan suatu kesatuan
tanpa perbedaan diluar profesi, hal ini didukung pada Pasal 10 Poin (c) UU
Nomor 16 Tahun 2011 bahwa lembaga bantuan hukum yang telah merekrut advokat,
paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum memiliki kewajiban untuk
melakukan pendidikan dan pelatihan terhadap rekrutan badan pemberi bantuan
hukum. Hal ini artinya terdapat kesetaraan aturan oleh badan pemberi bantuan
hukum dalam memberikan pengetahuan acuan terhadap para pemberi bantuan hukum.
Dari perspektif ruang lingkup, pada Pasal 4 Poin (2) Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2011 Badan Pemberi Bantuan hukum memiliki ruang penanganan
meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi
maupun non litigasi. Penjelasan ini diperkuat dengan pasal setelahnya bahwa
Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud meliputi menjalankan kuasa, mendampingi,
mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan
hukum Penerima Bantuan Hukum
Kewenangan bantuan hukum terhadap beberapa
profesi diluar advokat yang ditimbulkan oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011
ini kemudian menuai kontroversi dari profesi advokat. Hal ini dilihat dari
pelayangan permohonan pengujian undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi
oleh 10 orang advokat yaitu Dominggus
Maurits Luitnan, Suhardi Somomoelyono, Abdurahman Tardjo, TB Mansyur Abubakar,
Malkam Bouw, Paulus Pase, LA Lada, Metiawati, A Yetty Lentari, dan Shinta
Marghiyana.
Spesifik, mereka memohon pengujian Pasal 1 ayat (1), (3), (5), (6); Pasal 4 ayat (1), (3); Pasal 6 ayat (2), (3) huruf a, b; Pasal 7; Pasal 8 ayat (1), (2) huruf a, b; Pasal 9; Pasal 10 huruf a, c; Pasal 11; Pasal 15 ayat (5); dan Pasal 22 UU Bantuan Hukum.[5]
Spesifik, mereka memohon pengujian Pasal 1 ayat (1), (3), (5), (6); Pasal 4 ayat (1), (3); Pasal 6 ayat (2), (3) huruf a, b; Pasal 7; Pasal 8 ayat (1), (2) huruf a, b; Pasal 9; Pasal 10 huruf a, c; Pasal 11; Pasal 15 ayat (5); dan Pasal 22 UU Bantuan Hukum.[5]
Dalam
gugatan tersebut, pihak advokat
menganggap bahwa dengan adanya undang-undang tersebut, advokat akan dirugikan
hak konstitusionalnya disebabkan wewenang penyelenggaraan bantuan hukum dapat
dilakukan oleh dosen, mahasiswa fakultas hukum, atau organisasi masyarakat (LSM) dan hal ini bahkan untuk
beracara di dalam maupun di luar ruang sidang. Hal ini diatur dalam Pasal
9 huruf a jo Pasal 1 ayat (3) UU Bantuan Hukum. Namun, penolakan oleh advokat
bukan tidak memiliki dasar Sebab, pada Pasal
38 UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman pemberi jasa bantuan hukum adalah advokat yang merupakan
aparat penegak hukum.[6]
Namun
kemudian permohonan pengujian tersebut ditolak oleh Hakim Mahkamah Konstitusi
karena dianggap tidak dapat membuktikan secara detail kerugian hak
konstitusional yang dialami dan lebih banyak melakukan penafsiran saja.
RUMUSAN MASALAH
Beranjak dari permasalahan diatas, maka kami sangat tertarik
untuk mengetahui lebih lanjut antara lain :
1. Apa fungsi dan peran paralegal sebagai salah satu pemberi
bantuan hukum ?
2. Bagaimana kewenangan pemberi bantuan hukum khususnya
paralegal dikota Makassar dalam pembelaan kasus secara litigasi berdasarkan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang bantuan Hukum ?
METODDE PENELITIAN
Tipe
penelitian yang digunakan adalah Normatif
dengan metode pengumpulan data
Literature Research. Data dalam penelitian ini berupa data sekunder yang
diperoleh dari buku-buku, jurnal-jurnal, peraturan perundang-undangan, naskah
akademik, dan situs-situs resmi.
PEMBAHASAN
Akses
terhadap keadilan adalah salah satu bentuk pengejahwantahan dari prinsip negara
hukum dan pengakuan hak asasi manusia sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.
Keseluruhan hak dan kewajiban yang digariskan dalam UUD 1945 merupakan kesatuan
upaya untuk mencapai tujuan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu
mencapai keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.[7]
Bantuan
Hukum(legal aid) secara terminologi dipahami
sebagai pemberian bantuan hukum baik berupa nasihat hukum maupun penerimaan
kuasa pembelaan perkara hukum dipersidangan terhadap masyarakat yang mengalami
kesulitan dalam ekonomi(kurang mampu). Dalam kaitannya dengan profesi advokat,
istilah pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma dikenal sebagai Probono Publicio. [8]
Selain probono, kita juga mengenal
istilah prodeo yang termuat dalam SEMA No 10
Tahun 2010 tentang Bantuan Hukum (saat ini telah
dicabut oleh Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
No. 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak
Mampu Di Pengadilan – “Perma 1/2014”), Prodeo adalah proses berperkara di pengadilan secara cuma-cuma
dengan dibiayai negara melalui
anggaran Mahkamah Agung RI.[9]
Dari kedua hal diatas perbedaan keduanya terletak pada sisi Prodeo ataupun
Legal Aid ialah bantuan hukum secara
cuma-cuma, akan tetapi pelayanan hukum tersebut dibiayai oleh negara dan/atau
diberikan subsidi oleh negara, dalam hal ini diatur mekanisme maupun proses
formal oleh peraturan perundang-undangannya. Sebagai bukti nyata yang memang
sudah diadopsi oleh hukum positif yang berlaku di Indonesia yaitu dalam hal
bantuan hukum diatur oleh Undang-Undang No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum,
serta untuk peraturan-peraturan pelaksananya diatur oleh Peraturan Pemerintah
No.42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan
Penyaluran Dana Bantuan Hukum, Surat Edaran Mahkamah Agung No.10 Tahun 2010
Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum. Sedangkan untuk Pro
Bono bukan mengganti pekerjaan Pro
Deo, akan tetapi pekerjaan Pro Bono
mendukung pekerjaan Prodeo. Dan juga pekerjaan Pro Bono merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh advokat dengan
menggunakan waktu profesinya dengan menggunakan pembiayaan secara mandiri.[10]
Paralegal sendiri merupakan pemberian bantuan hukum yang bersifat Pro Deo, Karena berada langsung dalam
pengawasan dan pemberian bantuan dana oleh kementerian hukum dan hak asasi
manusia(KEMENKUMHAM). Untuk defenisi paralegal sendiri, Menurut Black Law
Dictionary dalam bukunya Mulyana W.K menyatakan bahwa Paralegal adalah:[11]
“A person with legal skills, but who is not an attorney,
and who works under the supervision of a lawyeor no is otherwise authorized by
law to use those legal skills. Paralegal courses leading to derses in sucsph
ecially are no afforded by many schools.”
Berdasarkan pengertian ini yang
disebut paralegal adalah seseorang yang mempunyai keterampilan hukum namun ia
bukan seseorang penasehat hukum (yang professional) dan ia bekerja di bawah
bimbingan seorang advokat atau yang dinilai mempunyai kemampuan hukum untuk
menggunakan keterampilannya.
Peran dan Tugas utama paralegal adalah mengupayakan peningkatan
kemampuan masyarakat terutama masyarakat miskin dalam mengupayakan keadilan
dalam posisi yang setara dengan kekuasaan di tingkat lokal. Sementara untuk
peran paralegal dijabarkan sebagai berikut :[12]
a.
Pendidik dan motivator masyarakat
dalam meningkatkan perilaku sadar hukum melalui kegiatan promosi,sosialisasi
dan pelatihan.
b.
Kader Pro Justice, kader bantuan hukum melalui
pendampingan masyarakat dan mengupayakan keadilan
c.
Organisator yang menerapkan
prinsip-prinsip pengembangan kelembagaan posko bantuan hukum berbasis
masyarakat yang mandiri dan berkelanjutan.
a.
Melaksanakan program-program
pendidikan sehingga kelompok masyarakat dirugikan (disadvantaged people)
menyadari hak-haknya;
b.
Memfasilitasi terbentuknya
organisasi rakyat sehingga mereka bisa menuntut dan memperjuangkan hak-hak
mereka;
c.
Melakukan penyelidikan awal
terhadap kasus-kasus yang terjadi sebelum ditangani pengacara dan memberikan
pertimbangan alternatif pilihan penyelesaian perkara;
d.
Membantu masyarakat dalam membuat
pernyataan-pernyataan(gugatan/pembelaan), mengumpulkan bukti-bukti yang
dibutuhkan dan informasi yang relevan dengan kasus yang dihadapi.
e.
Mengelola posko bantuan hukum
secara mandiri dan berlanjut.
f.
Melakukan tugas administratif
menyangkut pendokumentasian kasus perkembangan posko dsb.
Sejalan dengan tugas dan peran yang diberikan kepada paralegal, maka
amanah yang diberikan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 pada dasarnya telah
tepat. Karena pengawalan/pendampingan suatu kasus yang dimulai dari proses
penyelidikan oleh paralegal, maka paralegal memiliki kelebihan dari sisi
pengetahuan kasus hukum tersebut. sehingga, pendampingan kasus secara litigasi
oleh paralegal lebih berpotensi untuk menepis celah tuntutan terhadap seseorang
yang didampingi oleh paralegal.
Namun, dalam realitasnya hal yang tersebut menemui banyak kendala dalam
penerapannya, diantaranya :
a.
Kewenangan
penanganan secara litigasi oleh paralegal berdasarkan wewenang Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2011 nyatanya tidak dapat dilakukan dilapangan.
b.
Doktrin-doktrin
bantuan hukum yang diberikan kepada paralegal pada umumnya lebih mengarah
kepada pembelajaran kasus dan pendampingan penyelesaian sengketa non litigasi
c.
Bahkan sejak
dalam pelatihan paralegal, para pemateri telah memberikan penekanan terhadap
kewenangan paralegal yang hanya dapat melakukan pendampingan diluar persidangan.
Padahal,
jika melihat pada konteks kebutuhan pendampingan hukum di daerah Sulawesi,
dengan jumlah penduduk lebih dari 17 juta jiwa, hanya terdapat sekitar 2.000
pengacara, dimana sebagian besar berada di tiga kota besar yang berpenduduk
padat. Terdapat sekitar 1.000 pengacara di tingkat Propinsi di Sulawesi Selatan
untuk kurang lebih 8 juta penduduk. Kebanyakan dari mereka bekerja di Makassar.[14]
SOLUSI
a. Diperlukan
sebuah aturan hukum yang secara hukum mengatur tentang kewenangan paralegal
b. Diperlukan
kesepahaman antara penegak hukum dan pemberi bantuan hukum (pejuang hukum)
dalam hal penanganan kasus secara Cuma-Cuma.
c. Membuat
standar pelatihan terhadap para pemberi bantuan hukum diluar materi hukum
secara umum
[1]
Uli
paruliyan sihombing,dkk, 2009, Modul Pelatihan
Paralegal, The Indonesian Legal
Resource Center (ILRC) ,Jakarta, Hal.13.
[2] Muchlisin Riadi, Pengertian Bantuan Hukum, diakses pada 7 mei 2017,pukul 1:43 Am
pada
http://www.kajianpustaka.com/2016/04/pengertian-dan-sejarah-bantuan-hukum.html
[3] Anggara, Organisasi Advokat dan Program Bantuan Hukum Di Indonesia, diakses
pada 7 mei 2017, pukul 2:12 Pm pada
http://icjr.or.id/organisasi-advokat-dan-program-bantuan-hukum-di-indonesia/
[4] Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Bantuan Hukum: Akses Masyarakat Marginal
Terhadap Keadilan, (Jakarta, LBH Jakarta, 2007) hal. 16
[5]ASH, Hukum Online, Advokat
Gugat UU Bantuan Hukum, Diakses pada 8 Mei 2017 Pukul 3:35 AM pada http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt505c62bfc0c4c/advokat-gugat-uu-bantuan-hukum
[7]Kelompok Kerja
Akses Terhadap Keadilan Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), 2009, Strategi Nasional Akses Terhadap Keadilan, Kementerian Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas),Jakarta,
Hal.1.
[9]
Hukum Online, Perbedaan Probono dan
Prodeo, Diakses Senin, 08 Mei 2017 Pukul 11:14 AM Pada
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52fafbb784533/perbedaan-pro-bono-dengan-pro-deo
[10]
Febby Febrian Valentino, Arti dan Peran
Pro Bono oleh Advokat, diakses senin, 08 Mei 2017 Pukul 11:26 AM pada
http://www.hukumpedia.com/febbyfebrian/arti-dan-peran-pro-bono-oleh-advokat
[11]
Anung Anshori, Kedudukan dan Peranan Paralegal Dalam Aktivitas Bantuan Hukum
Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Jo
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kuhap Jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2011 Tentang Bantuan Hukum ,Respository Unpas, diakses pada 08 Mei 2017 Pada
http://repository.unpas.ac.id/843/
[12]Anonim, Peran,
tugas ,dan keterampilan paralegal, diakses pada 08 Mei 2017 Pukul 12:36 PM
pada
https://www.causes.com/causes/303502-bantuan-hukum-berbasis-masyarakat/updates/212074-peran-tugas-dan-ketrampilan-paralegal
[14] American Bar Association, 2012, Penilaian Akses Terhadap Keadilan untuk
Indonesia Sulawesi Selatan, Amerika Serikat, Hal. 29.